Minggu, 22 Januari 2017



KETIKA UJIAN NASIONAL MENJADI UJIAN MORAL

By. Rawiah

Ujian Nasional (UN) adalah salah satu indiktor yang digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik dan penyelenggaraan pendidikan pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Namun dewasa ini, justru UN telah menjadi ajang ketidakjujuran nasional.  Menurut penelitian Misbach (2015), lebih dari 1300 kasus contek massal dalam UN melibatkan guru. Alih-alih mendidik karakter anak bangsa, UN malah menghancurkan karakter anak secara tersistematis dan terlembagakan. Generasi seperti apa yang bisa dihasilkan lewat pelaksanaan UN yang curang?”
Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Permendikbud  No. 5 tahunb 2015 tentang penghapusan  UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan bagi siswa kelas 9 dan 12. Namun,  tetap saja besaran target nilai  UN menjadi prioritas bagi orang tua, siswa,  guru dan sekolah. Demi mencapai tujuan tersebut, orang tua marak mengikutkan anaknya untuk ikut les privat atau bimbingan non formal. Sedangkan di sekolah para guru memberi pelajaran ekstra demi mempersiapkan siswa untuk menghadapi perhelatan UN bagi siswa tingkat akhir. Orang tua dan masyarakat pada umumnya cenderung mengukur keberhasilan pendidikan melalui besaran deret angka hasil UN yang tetera pada SKHU.
Upaya di atas tentu saja upaya yang positif, namun sebaliknya tidak jarang hal itu pula yang mendorong timbulnya perilaku-perilaku  negatif baik dari siswa, orang tua dan bahkan guru. Demi untuk mendapatkan nilai yang tinggi, seorang guru yang super ketat melarang siswa menyontek pada ulangan harian, memberi sedikit kelonggaran kepada siswa untuk “saling membantu”. Perilaku menyontek ini pun terkadang dibiarkan saja oleh pengawas ujian. Bahkan lebih parah lagi ada oknum guru mengerjakan soal ujian untuk diberikan kepada siswa. Siswa pun akan mengambil dan menerima begitu saja kunci jawaban dan mengedarkannya dengan cara yang “sangat manis” dalam ruang ujian. Lebih ironis lagi adalah ketika terjadi transaksi-transaksi ilegal berupa upaya untuk mendongkrak nilai yang melibatkan oknum guru atau kepala sekolah dengan orang tua siswa. Perilaku kecurangan dalam Ujian Nasional dengan mudah dapat diidentifikasi melalui sebaran angka perolehan nilai ujian yang rata pada satu ruangan atau kelas tertentu. Daya pembeda soal tidak berfungsi secara baik atau dengan kata lain nilai hasil ujian siswa rata.
Jika demikian pelaksanaannya, maka UN justru  memiliki  potensi besar  merusak sendi-sendi moral dan akhlak generasi penerus bangsa ini.  Lalu, kemana nilai-nilai kejujuran yang selama ini begitu diagung-agungkan?? Pada jenjang SD kelas rendah sekalipun, ketika seorang siswa ditanya tentang contoh perilaku yang baik, sifat jujur selalu menempati urutan 1-3 dari jawaban siswa. Jika dalam masa pendidikan saja seorang siswa dibiarkan, dibenarkan, atau dibantu untuk tidak jujur, bagaimana dengan masa dewasa nanti? Kata jujur mungkin hanya akan ada di lembar jawaban untuk soal contoh-contoh sikap yang baik. Bukankah pemicu dari segala bentuk kejahatan adalah hilangnya kejujuran pada diri seseorang. Bukankah karakter itu  tidak dapat diajarkan tetapi harus dicontohkan, dibiasakan dan dibudayakan.  Kemana tujuan pendidikan nasional kita ketika lembaga pendidikan hanya mencetak orang-orang yang pintar tetapi akhlak mereka hancur.
  Oleh karena itu, untuk mengurangi kecurangan dalam pelasanaan UN, sebaiknya pemerintah membuat sistem ujian UN yang transparan, misalnya melalui ujian berbasis komputerisasi. Hal ini bisa saja dilaksanakan mengingat jadwal UN pada setiap jenjang pendidikan berbeda. Namun,tentu saja pemerintah harus menyiapkan sarana pendukung pada setiap daerah yang memungkinkan untuk menampung peserta ujian.  Selain itu masyarakat diberi ruang untuk bisa mengakses  hasil UN sehingga kemungkinan timbulnya kecurangan dan transaksi-transaksi  haram di dunia pendidikan bisa diminimalkan. Selain mengupayakan pelaksanaan ujian yang transparan, program sekolah satu atap bisa menjadi salah satu alternatif pilihan bagi pemerintah. SD, SMP dan SMU  berada dalam satu atap akan memudahkan siswa untuk melanjutkan pendidikan tanpa harus keluar mencari sekolah untuk jenjang berikutnya.........@rawiah2016#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar