KETIKA UJIAN NASIONAL MENJADI UJIAN MORAL
By. Rawiah
Ujian
Nasional (UN) adalah salah satu indiktor yang digunakan untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik dan penyelenggaraan pendidikan
pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Namun dewasa ini, justru UN telah menjadi ajang ketidakjujuran nasional. Menurut penelitian Misbach (2015), lebih dari
1300 kasus contek massal dalam UN melibatkan guru. Alih-alih mendidik karakter
anak bangsa, UN malah menghancurkan karakter anak secara tersistematis dan
terlembagakan. Generasi seperti apa yang bisa dihasilkan lewat pelaksanaan UN
yang curang?”
Anies
Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan
Permendikbud No. 5 tahunb 2015 tentang
penghapusan UN sebagai satu-satunya syarat
kelulusan bagi siswa kelas 9 dan 12. Namun, tetap saja besaran target nilai UN menjadi prioritas bagi orang tua, siswa, guru dan sekolah. Demi mencapai tujuan
tersebut, orang tua marak mengikutkan anaknya untuk ikut les privat atau
bimbingan non formal. Sedangkan di sekolah para guru memberi
pelajaran ekstra demi mempersiapkan siswa untuk menghadapi perhelatan UN bagi
siswa tingkat akhir. Orang tua dan masyarakat pada umumnya cenderung mengukur
keberhasilan pendidikan melalui besaran deret angka hasil UN yang tetera pada
SKHU.
Upaya di atas tentu
saja upaya yang positif, namun sebaliknya tidak jarang hal itu pula yang
mendorong timbulnya perilaku-perilaku negatif baik dari siswa, orang tua dan bahkan
guru. Demi untuk mendapatkan nilai yang tinggi, seorang guru yang super ketat
melarang siswa menyontek pada ulangan harian, memberi sedikit kelonggaran
kepada siswa untuk “saling membantu”. Perilaku menyontek ini pun terkadang
dibiarkan saja oleh pengawas ujian. Bahkan lebih parah lagi ada oknum guru
mengerjakan soal ujian untuk diberikan kepada siswa. Siswa pun akan mengambil
dan menerima begitu saja kunci jawaban dan mengedarkannya dengan cara yang
“sangat manis” dalam ruang ujian. Lebih ironis lagi adalah ketika terjadi
transaksi-transaksi ilegal berupa upaya untuk mendongkrak nilai yang melibatkan
oknum guru atau kepala sekolah dengan orang tua siswa. Perilaku kecurangan
dalam Ujian Nasional dengan mudah dapat diidentifikasi melalui sebaran angka
perolehan nilai ujian yang rata pada satu ruangan atau kelas tertentu. Daya
pembeda soal tidak berfungsi secara baik atau dengan kata lain nilai hasil
ujian siswa rata.
Jika demikian pelaksanaannya,
maka UN justru memiliki potensi besar merusak sendi-sendi moral dan akhlak generasi
penerus bangsa ini. Lalu, kemana
nilai-nilai kejujuran yang selama ini begitu diagung-agungkan?? Pada jenjang SD
kelas rendah sekalipun, ketika seorang siswa ditanya tentang contoh perilaku
yang baik, sifat jujur selalu menempati urutan 1-3 dari jawaban siswa. Jika
dalam masa pendidikan saja seorang siswa dibiarkan, dibenarkan, atau dibantu
untuk tidak jujur, bagaimana dengan masa dewasa nanti? Kata jujur mungkin hanya
akan ada di lembar jawaban untuk soal contoh-contoh sikap yang baik. Bukankah
pemicu dari segala bentuk kejahatan adalah hilangnya kejujuran pada diri
seseorang. Bukankah karakter itu tidak
dapat diajarkan tetapi harus dicontohkan, dibiasakan dan dibudayakan. Kemana tujuan pendidikan nasional kita ketika
lembaga pendidikan hanya mencetak orang-orang yang pintar tetapi akhlak mereka
hancur.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kecurangan
dalam pelasanaan UN, sebaiknya pemerintah membuat sistem ujian UN yang
transparan, misalnya melalui ujian berbasis komputerisasi. Hal ini bisa saja
dilaksanakan mengingat jadwal UN pada setiap jenjang pendidikan berbeda. Namun,tentu
saja pemerintah harus menyiapkan sarana pendukung pada setiap daerah yang
memungkinkan untuk menampung peserta ujian.
Selain itu masyarakat diberi ruang untuk bisa mengakses hasil UN sehingga kemungkinan timbulnya kecurangan
dan transaksi-transaksi haram di dunia
pendidikan bisa diminimalkan. Selain mengupayakan pelaksanaan ujian yang
transparan, program sekolah satu atap bisa menjadi salah satu alternatif
pilihan bagi pemerintah. SD, SMP dan SMU
berada dalam satu atap akan memudahkan siswa untuk melanjutkan
pendidikan tanpa harus keluar mencari sekolah untuk jenjang berikutnya.........@rawiah2016#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar